Imaji Motif Sasirangan, Fashion Kekinian Berawal Kain Magis Patih Lambung Mangkurat

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Terik mentari pertengahan  September 2023, di jalan Pramuka, Kelurahan Pemurus Luar, Kota Banjarmasin, sempurna mengeringkan potongan kain sasirangan biru keunguan yang dihampar. Sementara itu, di bagian pelataran rumah, lima bersaudara -Sumiati, Rusminawati, Fatmawati, Mustika Murni, dan Rahmawati- tekun dengan sehelai kain sasirangan setengah jadi di tangan masing-masing.

Mereka memiliki tugas masing-masing. Ada fokus menjahit jelujur sesuai pola, lalu menarik kuat hingga membentuk kerutan pada kain yang masih berwarna putih. Sumiati memberitahu, proses ini memerlukan waktu paling cepat tiga hari hingga satu minggu.

“Tergantung pada tingkat kesulitan,” kata Sumiati membuka perbincangan.

Ada juga yang bertugas memotong benang dengan gunting kuku pada kain sasirangan yang telah dijahit dan diwarnai sebelumnya.

“Kalau yang ini sehari biasanya bisa selesaikan hingga lima helai kain,” ujar Rahmawati menimpali.

Potongan benang yang ditarik Rahmawati dengan sangat hati-hati, menciptakan motif pada kain sasirangan yang masih setengah basah.

“Tapi, harus hati-hati saat memotong benang, supaya tidak merusak kain,” katanya.

Baca juga: Peringatan Maulid Nabi di Diskominfostandi Banjar Hadirkan Guru Tungkal Jambi

Lima bersaudara – Sumiati, Rusminawati, Fatmawati, Mustika Murni, dan Rahmawati – tengah serius mengerjakan sehelai kain sasirangan setengah jadi di tangan masing-masing. Foto: rdy

Menggeluti secuil tahapan pembuatan kain sasirangan, bukanlah hal baru bagi kelima wanita paruh baya ini. Mereka berpengalaman kurang lebih selama tiga puluh tahun.

Sumiati menceritakan pasang surut perjalanan mereka, hingga sempat beberapa kali mengalami pergantian pemilik usaha. Ada yang ownernya meninggal dunia dan bisnisnya tidak dilanjutkan oleh keluarga, ada yang pindah domisili, dan beberapa lainnya memilih untuk berhenti.

“Sempat juga menganggur, bertahun-tahun, hingga akhirnya ada kerjaan seperti ini lagi. Lumayan juga uangnya dapat menambah penghasilan keluarga, lebih baik sambil mengisi waktu, daripada tidak ada pekerjaan di rumah,” Sumiati melanjutkan.

Di teras rumah Sumiati itulah, sebagian proses pembuatan sasirangan mereka lakukan. Biasanya, ketika kain datang, mereka berkumpul mengerjakan tugas dari siang hingga sore, sambil berbincang-bincang seperti ibu-ibu rumah tangga pada umumnya. Jika pekerjaan belum selesai, mereka membawa bahan tersebut pulang dan menyelesaikannya di rumah masing-masing.

Kain-kain sasirangan setengah jadi yang dikerjakan oleh lima wanita paruh baya di Gang Kayu Manis RT 8, nomor 39 ini, diantarkan oleh seorang pengepul yang mengambilnya langsung dari tangan pertama di kelurahan yang berbeda.

Pengepul tersebut mengajak masyarakat di sekitar tempat tinggalnya untuk mengerjakan sebagian proses pembuatan kain sasirangan, kemudian mengambil sebagian keuntungan dari selisih upah yang diberikan dari tangan pertama.

Sementara itu, serangkaian produksi pembuatan kain sasirangan di Kecamatan Banjarmasin Timur ini, hanyalah sebagian kecil dari lapangan kerja yang tercipta berkat berkembangnya produksi kain sasirangan yang dikelola oleh satu owner yang sama.

Baca juga: Siswi SMKN 1 Amuntai Juara Acoustic Competition 2023 HUT SMAN 2 Paringin

Kegiatan serupa dengan produksi yang lebih besar, juga dapat ditemui di Kelurahan Handil Bakti, Kecamatan Alalak bahkan di Kecamatan Barambai yang melibatkan ratusan masyarakat di lima desa. Bedanya yang di Kabupaten Barito Kuala, para warga mengerjakan proses pembuatan kain sasirangan di rumah mereka masing-masing.

“Jika dihitung secara keseluruhan, jumlah orang yang membantu dalam proses pembuatan sasirangan hingga sekarang melibatkan sekitar 200 orang lebih,” aku Riduan, pemilik Riduan Sasirangan.

Mereka yang bertugas pelepas dan pembuat jahit jelujur biasanya diupah mulai dari Rp50.000 hingga Rp250.000 per orang, per helai kain yang sudah dikerjakan, tergantung tingkat kesulitan.

Sementara dalam proses pembuatan pola dan pewarnaan, sebagian besar ia lakukan sendiri secara manual. Alasannya, masih belum ada orang lain yang memiliki keterampilan khusus seperti yang dimilikinya. Ia percaya, setiap tangan dapat menghasilkan karya uniknya sendiri yang tidak dapat ditiru oleh orang lain.

“Pernah juga menugaskan yang lain membuat pola dan mewarnai namun hasil jadinya beda,” katanya.

Hikayat Sang Maestro

Lincah tangan Riduan secepat kilat, menggoreskan spidol permanen di sehelai kain yang masih berwarna putih. Tinta hitamnya menghasilkan motif bertema Arab, berpadu geometris yang setiap bentuknya memiliki makna.

“Pesanan orang Arab,” celetuknya,

“Ini bentuk gagatas (belah ketupat), maknanya bungas (cantik).”

“Ini bentuk gigi ikan haruan (gabus), maknanya ketajaman berpikir.”

“Kalo tidak percaya cari saja di google,” canda Riduan.

Sembari menyelesaikan tahapan paling awal dalam proses pembuatan kain sasirangan itu, ia bercerita mulanya tertarik pada kain sasirangan sejak 12 tahun silam.

Saat itu, Riduan yang menjadi asisten Agus Gazali Rahman, akrab disapa “Agus Sasirangan”, seorang yang cukup terkenal setelah menjadi runner-up di MasterChef  Indonesia musim pertama, memotivasinya untuk menciptakan kain sasirangan sendiri.

“Kita buat sasirangan yuk,” ujar Riduan, mengingat kata-kata Agus yang dulu mengajaknya.

Keputusan Agus untuk mengajak Riduan bukan tanpa alasan. Ia melihat potensi besar yang dimiliki Riduan ketika memamerkan kemampuannya dalam menggambar kaligrafi saat mengikuti pagelaran Atak Diang, program rutin yang diadakan dinas setempat mencari dan mengembangkan bakat generasi muda.

Baca juga: Mata Perih Jarak Pandang Terbatas, Kabut Asap Selimuti Banjarmasin

Sebelum memulai praktek membuat kain sasirangan, ia mempelajari teorinya terlebih dahulu. Riduan tidak mau terburu-buru di tahap awal ini, ia mempelajari setiap filosofinya. kemudian Agus menginstruksikan Riduan untuk menemui beberapa orang yang sudah sangat ahli dalam membuat kain sasirangan.

“Hingga saat ini yang saya datangi mungkin ada sebanyak 12 pengrajin, hanya untuk belajar membuat kain sasirangan. Begitulah perjuangannya,” kata Riduan.

Ketika sudah mulai lihai membuat kain sasirangan, di tahun 2013 ia perlahan merintis usaha, setiap minggu ada saja satu persatu menerima pesanan yang masuk.

Moment membanggakan yang tidak pernah dilupakan oleh Riduan, selama meniti karir sebagai seorang pengrajin sasirangan, ketika ia memenangkan Lomba Desain Motif dan Pewarnaan Kain Sasirangan, tingkat Kalimantan Selatan pada 2019 lalu.

Kala itu, keahliannya dalam membuat motif di kain sasirangan benar-benar diuji. Tidak tanggung-tanggung ia mencari referensi, mulai dari berkunjung ke perpustakaan, di sana ia mendapati buku kuno terbitan tahun lawas.

Literasinya menjadi-jadi kala mengetahui ada secercah petunjuk tempat bersejarah, dimana sejumlah ornamen yang sarat akan makna dan budaya khas banjar dijumpai. Riduan memulai perjalanan autentiknya guna menelusuri tempat-tempat itu.

Pertama, ia pergi ke Keraton di Muara Sungai Kuin, disana mendapati sejarah Kerajaan Banjar dan merekam motif tatah (pahatan) yang ada di setiap sudut bangunan hingga bagian atap yang memiliki filosofi makna, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kedua, ia mengamati tatah di gerbang selamat datang di kilometer 6 Kota Banjarmasin. Ukiran pada motif itu sarat pesan moral di dalamnya. Daun Jeruju artinya tolak bala dan keselamatan, sementara Kangkung kaumbakan artinya tahan godaan dan ujian.

Riduan juga mendapati motif tatah lawang (pahatan pintu), tatah bilik tawing halat dan bilik dengan ukiran tatah sungkul nanas bermakna kebersihan hati.

Terakhir ia mendapati tatah singgasana, ukiran itu tertuang di singgasana yang begitu indah, “Kursi Raja Banjar” di tengahnya juga terdapat ukiran intan, ada juga kembang jaruju, pucuk rabung, kangkung kaombakan, gagatas dan lain sebagainya.

Ukiran-ukiran yang sudah ada sejak puluhan hingga ratusan tahun lalu, itu kemudian ia tuangkan kembali di atas sehelai kain sasirangan yang kemudian membawanya menjuarai kompetisi dengan kategori motif terbaik.

“Jadi setiap helai kain sasirangan itu dibuat tidak sembarangan, semuanya syarat akan makna,” ujarnya.

Untuk teknik pewarnaan Riduan menggunakan campuran kapur dan tawas, kulit buah jalawe dan tumbuhan tunjung yang menghasilkan warna indigo yang lantas juga membawanya menjuarai kategori pewarna alam.

Setelah menjuarai kompetisi pembuatan kain sasirangan, Riduan mendapat gelar “Maestro” julukan yang biasa digunakan seorang yang ahli dalam bidang seni.

Motif kain sasirangan ciptaan Riduan dari dokumen pribadi Riduan Sasirangan. Didesain ulang oleh Kanalkalimantan.

Di tahun yang sama, tepat pada peringatan Hari Jadi ke-59 Kabupaten Barito Kuala, Riduan mencatat rekor menerima pesanan terbanyak dalam membuat kain sasirangan dalam satu waktu yang sama. Noormiliyani, Bupati Batola saat itu sempat memanggilnya langsung meminta dibuatkan motif kain sasirangan secara khusus.

“Rekor terbanyak produksi kita ya waktu itu, totalnya menerima pesanan 1.800 lebih helai kain sasirangan.”

“Waktu itu aku sampai tagaring-garing (sakit) memikirkannya,” aku lelaki kelahiran 1990 ini.

Kualitas kain sasirangan yang dibuat Riduan pada perhelatan itu bervariasi, sesuai permintaan mulai dari yang biasa hingga kualitas premium, dipakai orang dari berbagai kalangan.

Baca juga: DPRD Kapuas dan Eksekutif Teken Perda Perubahan APBD 2023

Terbaru di 2022, Riduan kembali memecahkan rekor pesanan dengan nilai omset terbesar dalam hidupnya. Ia dipercaya membuat ratusan kain sasirangan kualitas premium untuk tamu VIP, pada perhelatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) XXIX Nasional di Provinsi Kalsel yang digelar di Kiram Park, Kabupaten Banjar.

“Kalau acara MTQ Nasional itu dipesan 500 potong saja, tapi kualitas premium semua, harga kainnya mahal. Uangnya waktu itu hampir Rp500 juta,” akunya bangga.

Kini, kain produksi Riduan Sasirangan dipakai oleh kalangan pejabat tinggi, mulai dari Kepala Dinas, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, Menteri hingga sejumlah bakal calon presiden.

“Presiden sendiri juga pernah kita kasih, tapi saya masih belum pernah lihat kain itu dikenakannya,” sahutnya.

Diketahui sejak awal merintis usaha kain sasirangan, Riduan juga bekerja di Bank Rakyat Indonesia (BRI), permintaan itu sesuai keinginan orang tuanya. Ia berseloroh bilang, “Biasalah orangtua di kampung, maunya begitu.”

Selama lebih dari sepuluh tahun, ia menjalankan kedua pekerjaan ini secara bersamaan. Jika di siang hari, ia bekerja sebagai pegawai bank, di malam harinya, ia fokus pada pembuatan pola dan mewarnai kain sasirangan.

“Jadi sewaktu itu tidak ada yang tahu. Siang saya jadi pegawai bank, malam saya pengrajin sasirangan. Lambat laun, semua orang tahu juga namun ya tidak masalah, asal bisa membagi waktu,” ia membocorkan.

Hingga akhirnya belum lama tadi, Riduan memutuskan resign dari bank plat merah itu, setelah berhasil memenuhi nazarnya. Ia meninggalkan pekerjaan tersebut dengan rekam jejak yang baik.

“Saya itu bernazar, jika dalam waktu tiga bulan omset sasirangan berturut turut tembus Rp100 juta, maka saya berhenti di bank. Alhamdulillah berlanjut dan ini di minggu kedua September saja omsetnya sudah Rp75 juta,” Riduan memberitahu.

Usaha Riduan Sasirangan tidak pernah surut, selalu kebanjiran order, bahkan ketika ditanya sejak 2019 yang lalu, dikala Covid-19 yang rata-rata mematikan banyak usaha. Bahkan belum lama tadi ia kembali membuka usaha yang sama dengan brand yang berbeda yaitu Sasirangan Najwa.

“Nah ini ibarat mobil Toyota Agya dan Daihatsu Ayla, teknik dagang saja, tapi tetap saya yang mengelola bersama istri,” katanya.

Untuk pemasaran kain sasirangan, selain menggunakan media sosial dan para langganan yang kerap datang langsung ke rumahnya, ia juga menaruh sebagian kain sasirangan yang diproduksinya di sejumlah toko yang ada di Kota Banjarmasin.

“Untuk harga kain sasirangan yang paling murah seharga Rp125.000 dan yang paling mahal Rp500.000 hingga Rp2 juta untuk kualitas premium. Saya menjamin kualitasnya itu limited, tidak pernah ada samaannya,” sebut Riduan.

Kain sasirangan berkualitas premium ciptaan Riduan Sasirangan. Foto: dok. Riduan Sasirangan

Sementara itu, jika ada pagelaran pameran atau event kebudayaan, ia juga tidak pernah absen mendirikan stand. Untuk transaksi pembayaran, ia kerap menggunakan QRIS, standar kode QR nasional yang diluncurkan Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia untuk mengintegrasikan seluruh metode pembayaran nontunai di Indonesia.

“Pakai QRIS itu memudahkan tidak perlu repot mencari uang kembalian,” kata Riduan yang mengaku produk sasirangannya juga masuk dalam binaan sentra UMKM di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan tersebut.

Diketahui framework Pengembangan UMKM Bank Indonesia memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam struktur ekonomi Indonesia. Hal ini terbukti dengan sumbangan besar yang diberikan terhadap beberapa aspek kunci dalam perekonomian, yaitu Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,1%, penyerapan tenaga kerja mencapai 97,1%, dan kontribusi terhadap ekspor sebesar 14,4%.

Dengan begitu, framework pengembangan UMKM Bank Indonesia menjadi salah satu pilar utama dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan lapangan kerja, serta memperluas pangsa pasar ekspor. Hal ini menjadikannya elemen kunci dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif di Indonesia.

Sementara itu di Kalmantan Selatan sendiri, jika kita menilik database Bank Indonesia di https://www.bi.go.id/id/umkm/database/profil-sentra-umkm.aspx?sentra= sasirangan sedikitnya ada sebanyak 28 UMKM yang tercatat dengan jenis usaha kain sasirangan.

Dikatakan pengembangan UMKM yang dilakukan selaras dengan bidang tugas, juga sejalan dengan visi, misi, dan program strategis Bank Indonesia saat ini.

Selayang Pandang Kain Sasirangan

Kain Sasirangan adalah salah satu warisan budaya berharga dari masyarakat Kalimantan Selatan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Sasirangan resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) oleh Kementerian Kebudayaan pada 2013 yang lalu.

Kata “sasirangan” berasal dari bahasa setempat yang berarti “diikat” atau “dijahit dengan tangan” dan “ditarik benangnya”. Dalam dunia jahit-menjahit, ini sering disebut sebagai “smoke” atau “lujur” -di Jawa disebut jumputan-.

Proses pembuatan kain sasirangan memiliki 6 langkah utama yang dapat ditemukan dalam buku “Kain Sasirangan dan Asal-Usul Batik Indonesia” yang diterbitkan oleh Titi Winiarsih, dan telah didesain ulang oleh Kanal Kalimantan.

Pamong Budaya Ahli Pertama Bidang Kesejarahan, Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII Regional Provinsi Kalselteng, Yusri Darmadi, dulunya penggunaan kain sasirangan dalam upacara adat bukan hanya sekedar tradisi, kain ini juga diyakini memiliki kekuatan magis dan digunakan dalam proses pengobatan non medis yang disebut batatamba. Kain sasirangan, juga digunakan sebagai alat perlindungan dari gangguan makhluk halus.

“Asal mula kain sasirangan itu memang lebih ke pengobatan, seperti saat pengusulan WBTb bahwa dijelaskan penggunaannya. Misalnya, untuk mengobati sakit kepala, ia diikatkan di kepala. Dijadikan selendang diikatkan ke perut, itu mengobati sakit perut,” jelasnya.

Menurut sejarah, pada abad ke-12 hingga ke-14 saat Kerajaan Dipa berkuasa di Kalimantan Selatan, masyarakat setempat sudah mengenal batik sandang yang disebut “kain calapan”  yang kemudian dikenal sebagai kain sasirangan.

Kisah rakyat mencatat, kain Sasirangan pertama kali diciptakan ketika Patih Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam di atas rakit. Selama tapa tersebut, ia melihat buih di sungai yang ternyata berisi suara seorang wanita, Putri Junjung Buih, yang kelak menjadi Raja di Kalimantan Selatan.

Putri Junjung Buih hanya akan muncul jika syarat-syarat tertentu dipenuhi, termasuk pembuatan kain dengan motif wadi/padiwaringin yang ditenun dan diwarnai oleh 40 orang putri. Inilah kain calapan atau sasirangan pertama yang diciptakan.

Meskipun nilai-nilai budaya dalam kain sasirangan telah tergerus oleh arus globalisasi dan penggunaannya menjadi lebih umum dalam fashion sehari-hari, Yusri menekankan penting untuk tetap menghargai dan merawat warisan budaya ini.

“Dalam perkembangannya itu sasirangan akhirnya menjadi kain identitas, kain khas memang tidak ada di tempat lain selain di Provinsi Kalimantan Selatan,” katanya.

Motif Kain Sasirangan

Mengutip buku karya Tri Winarsih terbitan 2015 dengan judul “KAIN SASIRANGAN dan Asa-Usul Batik di Indonesia” kain sasirangan merupakan kain yang didapat dari proses pewarnaan rintang dengan menggunakan bahan perintang, seperti tali, benang atau sejenisnya menurut corak-corak tertentu.

Proses pewarnaan ini sering dilakukan dalam skala industri rumah tangga karena tidak memerlukan peralatan khusus, hanya dibuat dengan tangan secara manual.

Bahan kain yang umum digunakan dalam pembuatan kain Sasirangan adalah katun. Ini karena perkembangan pembuatan kain celup ikat bersamaan dengan teknik pewarnaan rintang yang lain, seperti batik dan tekstil adat. Namun, saat ini, kain Sasirangan dapat dibuat dari berbagai bahan, termasuk polyester, rayon, sutera, dan lainnya.

Corak dan motif pada kain Sasirangan diperoleh melalui teknik-teknik jahitan dan pengikatan tertentu, serta melibatkan komposisi warna dan jenis benang atau bahan pengikat. Dengan menggabungkan berbagai motif asli, kain Sasirangan menjadi lebih menarik dan terlihat modern.

Meskipun dimodifikasi, motif-motif tersebut tetap mempertahankan ciri khasnya. Beberapa motif yang dikenal dalam kain Sasirangan adalah iris pudak, bayam raja, ombak sinapur karang, naga balimbur, turun dayang, daun jaruju, kembang kacang, kulat kurikit, bintang bahambur, jajumputan (jumputan), kembang tampuk manggis, dan kangkung kaombakan.

Foto Sumber Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIII Regional Provinsi Kalselteng, didesain ulang oleh Kanalkalimantan.

Harga kain Sasirangan bervariasi tergantung pada jenis bahan dan motifnya. Motif yang lebih rumit dan sulit seringkali memiliki harga yang lebih tinggi. Beberapa jenis kain yang umum digunakan termasuk santung, katun, sutra, yuyur, dan satin. Kain sutera sendiri terbagi menjadi dua kelas, yaitu sutera grand (kelas II) dan sutera super (kelas I).

Kain Sasirangan biasanya dijual dalam bentuk potongan dengan panjang yang berbeda sesuai dengan penggunaannya, mulai dari 2 meter untuk atasan hingga 7 meter untuk satu set pakaian ibu.

Sasirangan selain dipakai untuk pakaian adat seperti ikat kepala, kerudung, dan sarung, juga digunakan dalam produk sehari-hari seperti selendang, sarimbit, gorden, dan taplak meja. Saat ini, penggunaan kain Sasirangan telah meluas, tetapi juga dalam gaya berbusana sehari-hari, baik dalam setting formal maupun santai. (Kanalkalimantan.com/rdy)

Reporter : rdy
Editor : bie

 

Artikel Imaji Motif Sasirangan, Fashion Kekinian Berawal Kain Magis Patih Lambung Mangkurat pertama kali tampil pada Kanal Kalimantan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lewat Adu Penalti, Andesku FC Juara Kapolres Cup U28 2022

Kronologi Perempuan Pengendara Honda Beat Tewas di Depan Taman Van der Pijl Banjarbaru, Motor Hilang Kendali, Kepala Terlindas Bus

Guru Kunci Utama Mewujudkan Indonesia Emas